Makalah Eksistensi Masyarakat Hukum Adat
EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT
Ditunjukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat
Dosen
Pembimbing
Natal
Kristiono
Disusun oleh:
Bekti
Zamibastiti 3301416034
Awalludin
M. 3301416038
Maulidina
Syania 3301416064
Gstin
Restu Pangestu 3301416078
POLITIK
DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG 2017
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah kita panjatkan puji
dan syukur kehadirat Allah SWT,atas segala nikmat dan ridlonya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya. Makalah
ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum adat yaitu tentang
Eksistensi Masyarakat Hukum Adat. Makalah ini dibuat dengan mengacu pada
berbagai sumber baik media cetak maupun
media elektronik.
Kami
berharap semoga makalah tentang Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dapat
bermanfaat untuk masyarakat dan dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran
dari para pembaca. Amin Ya Robal alamin
Semarang,
April 2017
Kelompok
10
DAFTAR ISI
Kata pengantar
..........................................................................................................................ii
Daftar isi
...................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
…………………………………………………………………....1
1.1 Latar Belakang
Masalah ………………………………………………………………….1
1.2. Rumusan Masalah
………………………………………………………………….........1
1.3. Tujuan
……………………………………………………………………………….......2
BAB II PEMBAHASAN
……………………………………………………………….........3
2.1. Pengertian Masyarakat Hukum Adat
………………………………………………........3
2.2. Peraturan Perundang-Undangan
…………………………………………………….......4
2.3.
Dampak Penerapan Peraturan Perundangan
Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum Adat …….. ..4
2.4. Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Dalam Mempertahankan Sumber Daya
Alam ……9
2.5.
Pengakuan dan perlindungan Masyarakat
Hukum Adat ………………………………..13
BAB III PENUTUP
………………………………………………………………………....14
3.1.Kesimpulan ........................................................................................................................14
3.2.Saran ...................................................................................................................................14
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………..16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang masalah
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang
hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum
adat. Dalam prakteknya sebagian masyarakatmasih menggunakan hukum adat untuk
mengelola ketertiban di lingkungannya. Secara resmi, hukum adat diakui
keberadannya namun dibatasi dalam peranannya.
Berkaitan
dengan keberadaan sistem hukum adat, dimana merupakan seperangkat norma dan
aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah yang sebagian besar dalam
bentuk aturan tidak tertulis dan tersebar di berbagi masyarakat indonesia,
sebenarnya merupakan suatu kekhasan dan kekayaan dari kemajemukan bangsa
Indonesia yang seharusnya kita jaga. Upaya untuk melestarikan budaya dan
tradisi dengan sendirinya tidak akan terlepas dari upaya mempertahankan norma
dan aturan adat atau kebiasaan tersebut. Keberadaan hukum adat dan hukum pidana
sebagai hukum positif akan memunculkan persmasalahan mengenai bagaimana
penegakan hukum harus dilakukan terhadap pelanggaran norma dan aturan adat atau
kebiasaan dalam kaitannya dengan berlakunya hukum pidana. Terlebih lagi jika
dikaitkan dengan asas legalitas yang menentukan bahwa hukum pidana harus
didasarkan pada hukum yang tertulis agar dapat dicapai suatu kepastian hukum,
sedangkan hukum (pidana) adat sebagian besar tidak tertulis.
1.2
Rumusan
Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan hukum
adat dan masyarakat hukum adat ?
2. Apa peraturan yang mengatur
masyarakat hukum adat ?
3. Bagaimana dampak penerapan
peraturan-peraturan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat ?
4. Bagaimana eksistensi masyarakat adat dalam
mempertahankan sumber daya alam ?
5. Bagaimana pengakuan dan perlindungan eksistensi
masyarakat adat dalam hukum ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Menjelaskan pengertian hukum adat
dan masyarakat hukum adat.
2. Menjelaskan peraturan yang
mengatur tentang masyarakat hukum adat di Indonesia.
3. Menjelaskan dampak penerapan
peraturan-peraturan terhadap eksistensi masyarakat.
4. Menjelaskan eksistensi masyarakat
adat dalam mempertahankan sumber daya alam.
5. Menjelaskan bagaimana pengakuan
dan perlindungan eksistensi masyarakat adat dalam hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara
turuntemurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada
asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum.
Masyarakat
hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara unsur-unsur untuk adanya
pengakuan sebagai berikut.
1.
Masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap).
2.
Ada
kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.
3.
Ada
wilayah hukum adat yang jelas.
4.
Ada
pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati.
Membaca
pengaturan tersebut di atas, kita tidak akan mendapatkan siapa yang dimaksud sebagai
masyarakat hukum adat. Sementara unsur-unsur yang akumulatif, masih diragukan kebenaran
unsurnya. Sebagai contoh, terdapat kesalahan fatal dalam membuat persamaan antara paguyuban dengan rechtsgemeenschap.
Paguyuban tidak bisa disamakan dengan rechtsgemeenschap, yang secara harafiyah
berarti persekutuan hukum, karena sifat dari unsur tersebut akumulatif, maka jika
salah satu unsur diragukan kebenarannya, ia akan menggugurkan pengakuan meski
telah memenuhi ke empat unsur lainnya.
Dalam
situasi ketidakjelasan definisi mengenai masyarakat hukum adat, kita menjadi
sadar bahwa negara sebenarnya sedang mempersiapkan kuburan bagi masyarakat
hukum adat menuju kepunahan sosial, politik dan budayanya. Akibat
ketidakjelasan pengaturan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, akibat
kekaburan dalam penentuan kriteria dan unsur pengakuan, maka keberadaan
masyarakat hukum adat tidak memiliki jaminan hukum apapun dari negara.
2.2
Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Tentang Msasyarakat Hukum
Adat
Jumlah Undang-Undang yang
diterbitkan Pemerintah Pusat sejak Tahun 1950 sampai dengan tahun 2005 kurang lebih berjumlah
1137 Undang-Undang. Ribuan lainnya berupa peraturan pelaksana dari mulai PP
sampai Peraturan Presiden. Sementara pada tingkat Perda, hanya dalam waktu 7
tahun, sudah terdapat 13.530 Perda yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah
bersama DPRD. Dari belasan ribu peraturan yang diterbitkan, cukup sulit untuk
menelusuri seluruh pengaturan mengenai masyarakat hukum adat. Dari
sumber-sumber data yang tersedia, perda-online (www.perdaonline.org) hanya
mencatat 29 Perda yang mengatur mengenai lembaga adat dari2 639 Perda.
Sementara data Perda yang disajikan oleh HuMa (CD Perda dan Aturan Lokal),
hanya menemukan 3 buah Perda yang langsung menunjuk masyarakat hukum adat
tertentu (misal Baduy,Rejang dan Desa Guguk) sebagai pemegang otoritas atas
wilayah adatnya. Minimnya pengakuan langsung melalui peraturan
perundang-undangan khususnya perda terhadap masyarakat hukum adat mengakibatkan
lemahnya posisi masyarakat hukum adat terhadap otoritas pemerintah. Sementara
pada tingkat Undang-Undang, sebagaimana telah disinggung di atas, justru
menempatkan masyarakat hukum adat berada dalam ketidakjelasan status hukumnya.
2.3
Dampak Penerapan Peraturan
Perundangan Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum Adat
Meskipun tidak ada yang dapat
memastikan berapa jumlah anggota/jiwa masyarakat hukum adat dari 40-60 juta
masyarakat, berdasarkan pendampingan di sejumlah tempat, menunjukkan bahwa
hampir seluruh anggota masyarakat hukum adat hidup di dalam dan sekitar kawasan
hutan. Dengan banyaknya jumlah masyarakat hukum adat yang hidup di dalam dan
sekitar kawasan hutan, maka penerapan peraturan mengenai kehutanan, menjadi
signifikan dampaknya kepada masyarakat hukum adat. Data luas kawasan hutan
menurut pemerintah adalah 120 juta ha. Jumlah luasan tersebut didapatkan
melalui proses penunjukkan kawasan oleh pemerintah. Dengan demikian, UU
Kehutanan menjadikan kawasan hutan dengan luas 120 ha tersebut sebagai objek
pengaturan. Selanjutnya menurut data yang dikumpulkan oleh HuMa di beberapa
provinsi dan kabupaten, kawasan hutan yang ditunjuk tersebut, faktanya berada
di atas hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Tumpang tindih ini
sesungguhnya tidak terjadi begitu saja, tetapi disadari dan di dasari oleh
klaim negara sebagai pemegang kuasa atas seluruh kekayaan alam di Indonesia,
termasuk hutan (HMN). HMN yang juga dianut oleh UU Kehutanan dijadikan
justifikasi untuk menguasai seluruh kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak,
termasuk di dalamnya ruang-ruang hidup masyarakat hukum adat. Huma menemukan fakta-fakta
lapangan mengenai dampak-dampak penerapan UU Kehutanan terhadap Masyarakat Hukum
Adat dan hak ulayatnya, Diantaranya :
A.
Putusnya
Hubungan Masyarakat Hukum Adat dengan Hutan
Karena
hutan masyarakat hukum adat telah beralih menjadi kawasan hutan negara, maka negara
memiliki kewenangan untuk membuat aturan di atasnya. Termasuk aturan yang membatasi
dan bahkan melarang orang untuk memasuki dan beraktivitas di dalam kawasan hutan.
Begitu juga aturan yang membolehkannya memberikan hak kepada orang atau badan hukum
tertentu untuk mengambil manfaat atas hasil hutan. Pembatasan, pelarangan atau bahkan
pengusiran masyarakat hukum adat dari kawasan hutan berawal dari kewenangan
ini. Didalam kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam, pada zona dan
blok tertentu dilarang untuk melakukan kegiatan apapun, sementara pada zona dan
blok lain hanya diperbolehkan melakukan kegiatan tertentu saja. Pada kawasan
yang telah dibebani izin atau hak, pemerintah memberikan hak kepada pemegang
izin atau hak untuk melarang setiap orang yang memanfaatkan kawasan tersebut
tanpa seizin pemegang izin atau hak tersebut. Tidak bisa disangkal bahwa
pelarangan atau pembatasan masyarakat hukum adat untuk masuk ke dalam kawasan
hutan telah memenggal relasi mereka dengan hutan. Dalam bentuk yang sederhana,
pemenggalan ini telah menyebabkan masyarakat hukum adat kehilangan akses dalam
mengelola hutan, seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun. Pelarangan
yang sama juga dapat ditemui di Kampung Ponti Tapau, Kecamatan Entikong,
Kabupaten Sanggau.
Masyarakat
di Desa Maholo, Watutau, Tamadue, Wuasa, Alitupu, Winowanga dan Wanga di Kecamatan
Lore Utara, bahkan dilarang untuk memasuki kebun dan sawahnya. Kejadian lebih
ironis dialami oleh warga Nagari Simarasok. Sekitar tahun 80-an, penduduk Nagari
ini diperintahkan oleh pegawai Dinas Kehutanan Propinsi untuk menanam pohon
pinus. Karena menganggap bahwa lahan yang akan ditanami pinus tersebut termasuk
ke dalam hak ulayat nagari, penduduk pun dengan senang melakukannya. Lahan yang
ditanam mencapai 100Ha. Ternyata, setelah besar dan siap panen, penduduk
dilarang mengambil kayu tersebut dengan alasan bahwa pohon pinus tersebut
berada di dalam kawasan hutan lindung. Larangan memasuki kawasan hutan bukan
hanya menghilangkan akses untuk mengelolahutan tetapi juga menyebabkan punahnya
situs-situs budaya. Situs-situs itu punah karena masyarakat hukum adat tidak
bisa lagi merawatnya sejak dilarang memasuki kawasan hutan seperti yang terjadi
di Kampung Banglo, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Sementara
di sejumlah desa di Kabupaten Donggala dan Poso, kepunahan situs-situs budaya ditandai
dengan kenyataan-kenyataan berikut ini:
1. Hilangnya situs-situs megalith;
2. Rusaknya
kuburan-kuburan tua;
3. Punahnya tempat-tempat bersejarah
antara lain kampung tua, kuburan leluhur, tempat- tempat ritual keagaaman, simbol-simbol ketahanan pangan.
Karena hutan merupakan bagian dari
wilayah atau ruang hidup (lebensraum) masyarakat hukum adat, pemisahannya dengan
masyarakat hukum adat selalu menyebabkan perubahan atau pergeseran pada faham,
nilai dan tatanan sosial. Faham, nilai dan tatanan sosial masyarakat lokal
lahir dari hasil melakukan interaksi dengan alam, termasuk hutan. Logikanya, bila
hutan dipisahkan dari mereka sama artinya meniadakan sumber lahirnya faham,
nilai dan tatanan sosial tersebut. Mengambil hutan dari mereka identik dengan
mengambil faham, nilai dan tatanan sosial mereka. Kini, masyarakat hukum adat
di Melawi (Kalbar) berpotensi meninggalkan faham komunal mereka yang
mengibaratkan rimba sebagai ibu yang mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan
hidup bagi masyarakat. Bersamaan dengan hilangnya hutan dari kehidupan mereka,
orientasi nilai juga turut berubah. Hutan tidak lagi dilihat sebagai manifestasi
simbolik (misalnya hutan sebagai Ibu) melainkan komoditas. Begitu juga dengan
tanah yang menjadi wadah bertumbuhnya hutan. Bila sebelumnya hutan rimba
dipandang sebagai milik bersama yang memiliki fungsi religi dan ekologis, saat
ini ia diperebutkan dan diklaim sebagai milik perorangan dengan pertimbangan keuntungan
ekonomi semata. Bahkan, tanah-tanah yang tidak berhutan lagi dijual kepada perusahaan
kelapa sawit atau kepada perusahaan pertambangan.
Masyarakat
dengan mudah melepaskan tanah-tanah tersebut walaupun perusahaan hanya
menyampaikan janji-janji kesejahteraan. Semakin masyarakat terintegrasi ke
dalam budaya modern, semakin merosot pengetahuan ekologi mereka seperti yang
terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun karena Kerusakan Sosial dan Biofisik.
Sementara dalam Penjelasan UUD 1945, dinyatakan bahwa dalam
teritori Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelf besturende land schappen dan
volksgemeen shappen, seperti Desa di jawa dan Bali, Nagari di
Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah- daerah
mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat diaggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa. Kemudian dinyatakan pula “Negara Republik Indonesia
menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan
Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal usul daerah.
Eksistensi masyarakat hukum adat dapat diuraikan menurut
aspek teoritis dan aspek yuridis.
1. Aspek
teoritis
Ter Haar (1981), mendiskripsikan persekutuan-persekutuan
hukum atau untuk mudahnya disebut saja masyarakat hukum adat yaitu:
“……gerombolan-gerombolan yang teratur, bersifat tetap dengan mempunyai
kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan, yang berwujud dan tidak berwujud..
Hazairin (dalam
Soerjono Soekanto, 1981), menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat adalah
seperti Desa di jawa, marga di sumatera, Selatan Nagaridi Minangkabau Kuria
diTapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang
mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesataun penguasa dan kesatuan lingkungan hidup
berdasar hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum
kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, dan bilateral) mempengaruhi sistem
pemerintahanya. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.
Ada 4 (empat) faktor untuk
memastikan adanya masyarakat hukum adat yaitu:
1.) Adanya satu kesatuan manusia
yang teratur.
2.) Menetap di suatu daerah
tertentu.
3.) Mempunyai penguasa.
4.) Mempunyai kekayaan berwujud dan
tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang sewajarnya menurut kodrat alam, dan tidak
seorangpun diantara para angota itu mempunyai pikiran atau kecederungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh
itu, atau meninggalkannya,
dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.
Ciri-ciri dan model sebagaimana
dikemukakan oleh Hazairin di atas sudah sejak lama dikenal di Propinsi Maluku
dengan ukuran dan nama yang beragam.. Kesatuan masyarakat hukum adat ini
dari dahulu eksistensinya sangat berpengaruh dalam berbagai aspek, baik
pemerintahan, ekonomi, pengelolaan dan pengendalian sumber daya alam.
R.Z Titahelu (2003), menyatakan
diperlukan konsep yang jelas mengenai masyarakat hukum adat, menurutnya secara
sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang
masih menggunakan hukum adat di dalam pergaulan hidup sehari-hari tidak saja di
dalam lapangan keagamaan, akan tetapi juga di dalam lapangan pemerintahan,
sosial, ekonomi maupun budaya.
Lebih lanjut dikemukakan oleh
Titahelu,ada tiga kriteria untuk dapat membantu menetapkan ada tidaknya
masyarakat hukum adat yaitu sebagai berikut.
1. Adanya sebuah
masyarakat yang langsung menyebut dirinya sebagai masyarakat adat.
2. Adanya
susunan khas dan turun temurun dalam lingkup sosial maupun pemerintahan
masyarakat itu.
3.
Adanya wewenang dalam hal penyelenggaraan pemerintahan (umumnya sangat
berpengaruh), maupun dalam penyelenggaraan di bidang social, politik, budaya
maupun ekonomi masyarakat secara keseluruhan di atas wilayah tertentu yang
cukup luas bukan sekedar suatu wilayah pemukiman dan sumber kehidupan seadanya.
Dengan demikian, adanya masyarakat tertentu dengan wilayah
petuanan (ulayat) dimana mereka menjalani kehidupan di bidang politik, sosial,
ekonomi maupun budaya secara teratur dan menjadi satu kesatuan dengan dirinya,
merupakan tanda adanya masyarakat hukum adat.
2. Aspek Yuridis
Secara yuridis formal pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat serta hak-haknya di Indonesia diakui. Disadari pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat itu sangat beragam dari sektor satu dengan sektor
lainnya. Demikian pula bentuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat oleh
daerah-daerah juga berbeda-beda.
Untuk pertama
kalinya , Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Hukum Agraria (UUPA), telah memuat ketentuan yang menyatakan
bahwa undang-undang ini berdasarkan hukum adat (Pasal 5) , dan mengakui salah
satu aspek hak masyarakat adat yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3, yakni apa yang disebut sebagai hak
ulayat. Pasal 3: “Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal1 dan Pasal 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataanya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai denga kepentingan
nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi”. Dengan
ketentuan tersebut jelaslah bahwa hak ulayat memang diakui, tetapi dengan
pembatasan tertentu mengenai eksistensinya yakni bila sepanjang kenyataannya
masih ada, dan pelaksanaannya harus memenuhi syarat-syarat limitatif.
UUPA sendiri tidak menjelaskan tentang hak ulayat itu,
kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht
sebagaimana dipahami dalam kepustakaan hukum adat. suatu beschikkingsrecht
meliputi berbagai kewenangan seperti mengambil hasil-hasil alam dari hutan
atau air, berburu hewan-hewan liar, mengambil dan memiliki pohon-pohon tertentu
dalam hutan, dan membuka tanah dalam hutan dengan seizin kepala masyarakat
hukum adat (lihat Ter Haar).
2.4 Eksistensi Masyarakat Hukum Adat
Dalam Mempertahankan Sumber Daya Alam
Dengan adanya pengakuan secara hukum (Juridicial
Recognation). Terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya melalui
berbagai peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan di atas, itu
menandakan bahwa eksistensi masyarakat hukum adat di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah legal menurut hukum. Hak-hak tradisional yang
dimaksud adalah termasuk hak-hak masyarakat atas sumber daya alam di wilayah
ulayatnya. Selain itu sebagaimana disebutkan di atas bahwa eksistensi
masyarakat hukum adat untuk hidup dalam corak budaya sendiri adalah merupakan
kenyataan yang juga harus dihormati.
Dengan Pengakuan itu maka perlu diberi kesempatan untuk
mengembangkan eksistensi dan kulturnya. Pengakuan terhadap eksistensi
masyarakat hukum adat kiranya juga meliputi selain atas sumber-sumber daya alam
yang menjadi lebensraumnya yaitu sumber-sumber kehidupan baik secara simbolis
maupun realis, akan tetapi termasuk didalamnya pengakuan terhadap strukrur
organisasi pemerintahan adat setempat, mekanisme kerja, dan peraturan-peraturan
serta berbagai hak dan kewajiban yang terkandung di dalam sistem kelembagaan
masyarakat setempat, karena tanpa pengakuan itu maka pengakuan terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat hanya menjadi retorika politik belaka.
Di Provinsi Maluku, sampai saat ini dijumpai
kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang hidup didasarkan pada hukum adatnya
dengan nama dan ukuran yang beragam. Melihat kesatuan masyarakat hukum adat
sebagai suatu realitas, yang kepadanya diberikan pengakuan dan penghormatan
sehingga eksistensinya merupakan hak, maka menurut Titahelu (2005), hak sebagai
suatu kesatuan masyarakat adat sebenarnya merupakan sesuatu yang ada dengan
sendirinya dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapan yang ada di dalam
hukum Negara, baik konstitusi maupun perundang-undangan. Lebih lanjut Titahelu
mengatakan bahwa isi atau content ini dapat ditentukan sejauh mana
kesatuan masyarakat adat ini hendak diidentifikasi. Hal ini dapat dlakukan
berdasarkan apa yang dinyatakan oleh mereka yang menyebut diri sebagai
masyarakat hukum adat itu sendiri. Jadi, pernyataan dalam konstitusi saat ini
adalah suatu pengukuhan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, sedangkan isi
sesungguhnya dari apa yang disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat adalah
suatu realita (sosicial reality) yang ditentukan oleh masyaraat hukum
adat itu sendiri berdasarkan prinsip cultural self identification. Oleh
karena itu proses memperoleh pengetahuan tentang kesatuan masyarakat hukum adat
itu harus dapat diperoleh langsung dari kesatuan masyarakat yang menyatakan
dirinya sebagai masyarakat hukum adat.
Masalahnya sekarang adalah, apakah masyarakat hukum adat yang
secara normatif maupun empirik diberikan ruang untuk mempetahankan apa yang
menjadi hak-haknya atas sumber daya alam dan hak-hak tradisional lainnya, dan
lebih dari sekedar mempertahankan hak-haknya itu, apakah masyarakat hukum adat
dapat menggunakan hak-haknya itu. Hal ini menjadi penting untuk dikemukakan
karena dari berbagai pengalaman dapat dilihat bahwa masyarakat hukum adat,
maupun individu yang ada di dalamnya sebagai suatu realitas seringkali
diabaikan dan dipinggirkan. Agar masyarakat hukum adat dapat mempertahankan dan
menggunakan hak atas sumber daya alamnya dengan baik, maka Pemerintah (Negara,
Provinsi, Kabupaten/Kota) harus memberikan perlakuan yang adil dan memberikan
kesempatan sehingga mereka dapat menyusun program dan kegiatan yang
menghasilkan sesuatu secara luas, melampaui cara hidup subsisten.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa setidaknya
ada sejumlah hak yang melekat pada kesatuan masyarakat hukum adat,yakni adanya
hak millik baik individu (hak milik) maupun kolektif (hak ulayat, hak petuanan)
atas tanah dan sumber daya alam lainnya termasuk air, sungai, hutan, hewan,
laut dan pesisir dan sebagainya. Agar kesatuan masyarakat hukum adat secara
individu ataupun secara keseluruhan dapat berperan dalam mempertahankan dan
menggunakan hak-haknya atas sumber daya alam untuk menghasilkan sesuatu yang
lebih baik, maka hak untuk hidup sehat agar dapat bekerja, hak untuk memiliki
lingkungan yang mampu menghasilkan kebutuan hidup, hak untuk menentukan dapat
tidaknya pihak lain (investor) melakukan pengelolaan sumber daya alam di dalam
wilayah yang dikuasai masyarakat hukum adat dengan “persetujuan awal tanpa
paksaan”(free and prior informed cosent), harus diberikan juga kepada
mereka.
Dalam kaitannya dengan hak untuk menentukan dapat tidaknya
investor melakukan pengelolaan sumber daya alam, menurut Sumardjono, Pemerintah
Daerah berperan penting dalam 2 (dua) hal. Pertama, dalam upaya
menyeimbangkan kepentingan investor dan masyarakat hukum adat melalui upaya
fasilitasi antara kedua pihak untuk mencapai musyawarah tentang bentuk dan isi
kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak dan masyarakat luas. Kedua, dengan
cara merancang kebijakan daerah yang memberikan keadilan, kepastian hukum,
kemanfaatan dan perlindungan hukum bagi semua pihak terkait, sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain
itu pemerintah maupun pihak perusahaan memberikan dukungan melalui cara memberi
fasilitas dalam proses produksi yang efisien, pelatihan, managemen, pemberian
kredit, pemasaran dan lain-lain sepajang diperlukan oleh masing-masing
masyarakat hukum adat. Perusahaan juga mempunyai kewajiban sosial untuk
membantu masyarakat sekitar termasuk masyarakat hukum adat, baik dalam bentuk
fisik (fasilitas pendidikan, ibadah, kesehatan, infrastruktur dan sebagainya)
maupun non fisik berupa beasiswa dan pemberian peluang untuk melakukan
kerjasama/kemitraan.
Dengan pengakuan, penghormatan terhadap
masyarakat hukum adat serta hak-haknya atas sumber daya alam bukan hanya
sekedar retorika belaka tetapi benar-benar dapat diwujudkan untuk tujuan
kesejahteraan. Untuk itu dalam rangka mewujudkan tata pengaturan pengelolaan
lingkungan hidup yang baik (good environment governance) serta mengakhiri
praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang bercorak ekploitatis,
sentralistik, sektoral, dan represif, maka Pemerintah dalam pembentukan
undang-undang sumber daya alam perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana
dikemukakan oleh Nurjaya (2008) antara lain sebagai berikut:
(1)
Mengatur mekanisme koordinasi dan
keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam.
(2)
Menggunakan paradigm pengelolaan suber daya alam yang berbasis masyarakat (community-based
resource managemen).
(3)
Menyediakan ruang bagi transparansi dan
partisipasi public yang sejati (genuine public participation) sebgai
wujud demokratis dalam pengelolaan sumber daya alam.
(4) Memberi ruang bagi pengakuan dan perlindungan
hak asasi manusia (HAM), terutama akses dan hak-hak masyarakat adat/lokal atas
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
(5)
Menyerahkan wewenang pengelaan sumber daya alam kepada daerah berdasarkan
prinsip desentralisasi (decentralization principle).
(6)
Mengatur mekanisme pengawasan dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya alam
kepada public (public accountability).
2.5 Pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Prinsip-prinsip Penting Dalam
Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
Ada beberapa prinsip penting dalam
pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat yang patut dimasukan ke
dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat, antara lain:
A.
Prinsip
partisipasi
Partisipasi merupakan keterlibatan
masyarakat adat dalam setiap proses pengakuan dan perlindungan hak-hak
mereka. Partisipasi yang ideal adalah ‘partisipasi penuh dan efektif’ dalam
pembangunan di mana setiap orang di dalam masyarakat terlibat dalam semua
tahapan dan menjadi pihak yang menentukan dalam pengambilan keputusan atas
segala program atau proyek yang dilakukan di wilayah kehidupan mereka.
1. Melakukan pengawasan terhadap
kebijakan dan program instansi negara lainnya dalam pengakuan dan perlindungan
hak masyarakat adat
2. Memfasilitasi penyelesaian konflik
antara masyarakat adat dengan instansi negara maupun perusahaan dengan
prinsip-prinsip FPIC.
B.
Tanggung
Jawab Pemerintah
Di lihat dari perspektif HAM dan
juga dari konstitusi Indonesia, tanggung jawab negara dan pemerintah adalah
mengakui, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dan masyarakat adat.
Konsepsi bahwa negara mengakui berarti ada pernyataan penerimaan dan pemberian
status keabsahan oleh negara dan hukum negara terhadap eksistensi hukum dan
hak-hak warga negara baik sebagai perorangan maupun kesatuan masyarakat sebagai
perwujudan konstitutif dari negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi
hak-hak asasi warga negara.
Konsep “menghormati” berarti
mengharuskan negara untuk tidak melanggar hak-hak masyarakat adat, termasuk
dengan cara memberlakukan hukum-hukum yang menjamin hak-hak masyarakat adat.
Konsep “melindungi” mengharuskan pemerintah mencegah dan menindak
pelanggaran-pelanggaran hak-hak masyarakat adat yang dilakukan oleh pihak-pihak
bukan negara dengan menegakan hukum-hukum yang berlaku. Sedangkan konsep
“memenuhi” mengharuskan pemerintah mengevaluasi berbagai kebijakan dan
peraturan serta merencanakan dan melaksanakan kebijakan untuk dinikmatinya
hak-hak masyarakat adat.
Selain empat konsep tanggungjawab
pemerintah di atas, pemerintah juga bertanggungjawab untuk memajukan hak
masyarakat adat melalui program-program pemerintahan baik untuk mengupayakan
adanya pengakuan hukum maupun agar pengakuan hukum yang sudah ada bisa
diimplementasikan untuk memajukan hak masyarakat adat.
C.
Lembaga
yang Harusnya Melakukan Upaya Pengakuan
Saat ini banyak lembaga pemerintahan
yang berurusan dengan masyarakat adat, misalkan Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Budaya dan Pariwisata, Kementerian
Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Pertanahan Nasional. Namun
belum ada satu lembaga khusus yang fokus dalam pengakuan dan perlindungan hak
masyarakat adat. Lembaga khusus sebenarnya diperlukan untuk mengatasi
sektoralisme dalam memandang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Ketiadaan
satu lembaga khusus ini membuat pengakuan terhadap hak masyarakat adat secara
utuh sulit untuk dilakukan.Tugas-tugas pokok dari lembaga yang bertangungjawab
terhadap pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat antara lain:
1. Memastikan tersedianya prosedur
pengakuan dan perlindungan yang mengutamakan pemajuan hak-hak masyarakat adat
2. Melaksanakan program-program yang
bertujuan untuk mendorong pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak
masyarakat adat, sebab saat ini yang terjadi adalah masyarakat adat tidak
dipandang sebagai warga Negara
D. Penyelesaian Sengketa
Sengketa dan juga konflik terkait
dengan hak masyarakat adat merupakan persoalan yang banyak dialami oleh
masyarakat adat. Sengketa atau konflik tersebut dapat terjadi di dalam
komunitas masyarakat adat, antar komunitas masyarakat adat, antara masyarakat
adat dengan perusahaan maupun antara masyarakat adat dengan instansi
pemerintah. Masyarakat punya mekanisme sendiri untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi di wilayahnya berdasarkan hukum adat. Sedangkan negara dengan hukum
negara sering memaksakan berlakunya hukum negara untuk menyelesaikan konflik.
Secara umum, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sumber daya
alam memberikan pilihan penyelesaian sengketa baik di dalam pengadilan maupun
di luar pengadilan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) telah melaksanakan Inkuiri Nasional di 7 lokasi, yaitu Medan,
Pontianak, Rangkasbitung, Mataram, Palu, Ambon dan Abepura. Inkuiri Nasional
ini mendengar dan mencatat dengar keterangan umum (DKU) yang disampaikan oleh
40 masyarakat hukum adat (MHA), terkait isu MHA di kawasan hutan.
Keberadaan
masyarakat hukum adat tidak saja telah mendapatkan perlindungan secara yuridis
konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2), melainkan
perlindungannya lebih kuat lagi karena dipertegas dalam Pasal 28I tentang HAM.
Di satu pihak, secara yuridis, otonomi desa yang bersifat otonom asli diakui
oleh negara. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan secara jelas “Negara.
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
UU
nasional bersifat sektoral telah memberikan jaminan yang sama akan pengakuan
terhadap hak-hak tradisional MHA, termasuk di dalamnya hak ulayat tanah, hak
ulayat air, hak ulayat hutan, hak ulayat atas tempat mengembala, dan hak-hak
tradisional lainnya. Misalnya, hak keturunan dan gelar adat, hak milik
benda-benda keramat atau regalia, hak cipta dan Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI) atas karya dan hak cipta adat. Adapun UU tersebut adalah UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dll.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara
turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada
asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum.
Beberapa peraturan yang mengatur
masyarakat adat, dari sumber-sumber data yang tersedia, perda-online
(www.perdaonline.org) hanya mencatat 29 Perda yang mengatur mengenai lembaga
adat dari2 639 Perda. Sementara data Perda yang disajikan oleh HuMa (CD Perda
dan Aturan Lokal), hanya menemukan 3 buah Perda yang langsung menunjuk
masyarakat hukum adat tertentu (misal Baduy,Rejang dan Desa Guguk) sebagai
pemegang otoritas atas wilayah adatnya. Minimnya pengakuan langsung melalui
peraturan perundang-undangan khususnya perda terhadap masyarakat hukum adat
mengakibatkan lemahnya posisi masyarakat hukum adat terhadap otoritas pemerintah.
Dampak dari penerapan peraturan antara lain putusnya hubungan masyarakat adat
dengan hutan, karena hutan yang ditempati masyarakat adat diakui oleh negara,
sehingga status masyarakat dalam hutan tersebut tidak jelas bahkan hilang. Dengan adanya pengakuan secara hukum (Juridicial
Recognation). Terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya melalui
berbagai peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan di atas, itu
menandakan bahwa eksistensi masyarakat hukum adat di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah legal menurut hukum. Hak-hak tradisional yang dimaksud adalah
termasuk hak-hak masyarakat atas sumber daya alam di wilayah ulayatnya. Pengakuan konstitusi kita
terhadap keberadaan kelompok masyarakat yang memakai hukum adat dalam kehidupannya
merupakan sesuatu yang baru, karena selama kurun waktu lebih setengah abad,
minimal masa diberlakukan UUD 1945 periode pertama (18 Agustus 1945 s/d 27
Desember 1949) pasca kemerdekaan dan kedua sebelum perubahan kedua konstitusi
(5 Juli 1959 s/d 18 Agustus 2000) hampir dilupakan. Keberadaan masyarakat hukum adat dan hukum adat sendiri
belum mendapat tempat yang semestinya, karena alam pemikiran kita dimonopoli
dengan pendekatan hukum positivis dan legalistik.
Keberadaan
masyarakat hukum adat tidak saja telah mendapatkan perlindungan secara yuridis
konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2), melainkan
perlindungannya lebih kuat lagi karena dipertegas dalam Pasal 28I tentang HAM.
Di satu pihak, secara yuridis, otonomi desa yang bersifat otonom asli diakui
oleh negara. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan secara jelas “Negara.
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
3.2
Saran
1.) Pemerintah
hendaknya merubah ketentuan tentang ”hutan adat” yang dimuat di dalam UUKehutanan.
2.) Perlu dibuat UU yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat sesuai dengan amanat UUD NRI Pasal 18 B. Bahkan bila perlu UU yang bersifat ”memayungi” seluruh ketentuan tentang hak-hak masyarakat adat.
2.) Perlu dibuat UU yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat sesuai dengan amanat UUD NRI Pasal 18 B. Bahkan bila perlu UU yang bersifat ”memayungi” seluruh ketentuan tentang hak-hak masyarakat adat.
Menyadari bahwa penulis
masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail
dalam menyusun makalah tersebut dan dapat dipertanggungjawabkan.
Daftar Pustaka
Wignjodipoero,Soerojo.1986. Pengantar
dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta : PT Toko Gunung Agung.
Tikok,Sumbodo.2009. Hukum
Tata Negara. Jakarta : PT Eresco.
Gunarsa,Arip.2005. Pengantar
Tata Hukum Indonesia. Bandung : PT Retika Aditama.
Sianturi,S.1996. Asas-Asas
Hukum Pidana dan Penerapannya . Jakarta : Gramedia.
Dr. Dewi S.2015.Pengantar
Hukum Adat. Bandung : Pustaka Setia.
izin saya kutip beberapa bagian untuk dijadikan bahan makalah saya ya kak
BalasHapusCasinos Near Penn National Race Course - Mapyro
BalasHapusMapyro 포천 출장샵 provides realtime driving directions to casinos, racetracks 고양 출장마사지 and other gaming facilities in Washington State. Get directions, reviews 충주 출장마사지 and 의정부 출장샵 information 인천광역 출장마사지 for